wisatatoto com

wisatatoto com,aplikasi domino island versi lama,wisatatoto com

Pertautan Muslim Indonesia dan Tiongkok Menyambut 75 Tahun Hubungan Diplomatik Dua Bangsa
(Dok. Pribadi)

TIONGKOK dan Indonesia tak bisa dilepaskan sebagai dua entitas dan identitas bangsa yang memiliki hubungan sejarah panjang. Jalur Sutra Maritim yang melewati Selat Malaka menjadi pintu pembuka, membuat perdagangan yang menghubungkan antara Tiongkok (juga bangsa-bangsa Asia Timur) dan India, Arab, dan Afrika melewati Selat Malaka. 

Kontak pertama antara Tiongkok dan Nusantara terjadi tatkala para pedagang Tiongkok membawa barang-barang seperti sutra, porselen, dan obat-obatan tradisional. Tentu simbiosis mutualisme antara dua bangsa itu membuat hubungan baik berjalan dalam waktu yang panjang melebihi rezim bangsa itu sendiri. Hubungan baik tersebut terus terbentang walaupun kerajaan datang silih berganti, penguasa naik dan turun, hingga terbentuk semacam keyakinan di alam bawah sadar bahwa hubungan kedua entitas itu harus terus dilestarikan.

Persinggungan keduanya tidak hanya terjadi di wilayah ekonomi dan politik, tidak hanya terjadi antara government to government dan business to business, tapi juga culture to culture dan people to people. Semuanya terjadi dalam rentang waktu yang panjang sehingga memperkaya budaya kedua bangsa. Menciptakan sebuah simponi kebudayaan yang indah dan beragam.

Baca juga :  75 Tahun Tiongkok dan Ambisi Globalnya Langkah Strategis Indonesia

 

Pasang surut hubungan Indonesia dan Tiongkok

Relasi dalam rentang waktu yang panjang itu tentu mengalami pasang surut layaknya sahabat, kadang ada masa tersinggung lalu akur kembali. Itu terjadi juga dalam hubungan etnik Tionghoa di Nusantara. Pada masa VOC, misalnya, pernah terjadi pemberontakan Tionghoa kepada VOC di Batavia pada 1740 yang menyebabkan 10 ribu orang terbunuh yang kebanyakan ialah Tionghoa. 

Baca juga : Mengeksplor Wisata Islami di Hong Kong 

Pada masa Orde Baru, semua hal yang berbau Tiongkok juga sempat dilarang seperti nama Tionghoa dan kesenian Tionghoa walaupun pada akhirnya pada masa pemerintahan Gus Dur kebijakan diskriminatif tersebut berhasil dihapuskan dan dilakukan normalisasi.

Letupan-letupan kadang ada, tapi tak sering, persinggungan-persinggungan itu hanya riak-riak ketimbang relasi panjang kedua bangsa. Pertemuan kedua kebudayaan itu menciptakan sesuatu yang baru yang awalnya mungkin tidak terbayangkan oleh kedua entitas bangsa tersebut.

Tahun depan Indonesia dan Tiongkok akan merayakan 75 tahun hubungan diplomatik, tepatnya pada 13 April 2025. Itu akan menjadi momentum yang sangat berharga bagi kedua negara yang kini berada pada level kemitraan strategis komprehensif. Atas dasar itu, saya menginisiasi penulisan buku berjudul Pertautan Muslim Indonesia dan Tiongkok: Sejarah dan Dinamika Akulturasi Budaya Dua Bangsa sebagai pengantar momentum relasi kedua negara besar itu.

Baca juga : Diplomasi Literatur Dorong Kerja Sama Strategis dengan Afrika

Buku yang diterbitkan oleh IRCiSoD pada penghujung 2024 itu bercerita panjang tentang pertautan muslim Indonesia dan Tiongkok pada masa lalu, inkulturasi budaya Tionghoa di beberapa daerah di Nusantara, hingga pada bagaimana pertemuan kedua bangsa tersebut ternyata dapat memproduksi kebudayaan baru.

Buku itu mengulik hal yang mungkin tidak terpikir di benak pembaca, terutama anak muda, yang melihat hanya pada realitas masa kini. Interaksi sejarah budaya itu, jika dipahami sebagai sebuah dialog kebudayaan, ia berfungsi sebagai cara pandang kita melihat diri sebagai bangsa Indonesia di satu sisi dan warga dunia di sisi yang lain.

Buku itu diberi pengantar oleh Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas dan prolog oleh Kepala Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama Prof Suyitno. Di dalamnya Gus Men (sapaan akrab beliau) menuliskan, 'Terjadinya akulturasi budaya Tionghoa dengan budaya lokal yang ada di Indonesia itu merupakan hal yang positif sehingga perlu didukung dan diapresiasi. Akulturasi itu bukan untuk saling melenyapkan atau menegasikan. Akan tetapi, sebaliknya, akulturasi itu justru akan memperkaya budaya masing-masing, baik bagi Indonesia maupun Tiongkok'.

Baca juga : Dinilai Sesatkan Kongres soal Israel-Gaza, Menlu Blinken Dituntut Mundur

'Singkatnya, akuluturasi kedua budaya itu bisa memperkuat keragaman budaya nasional atau lokal. Berkembangnya sebuah budaya, bahkan peradaban, secara umum merupakan kemampuan untuk berdialog dan menyerap kebudayaan dan peradaban lain. Penyerapan terhadap budaya lain menjadikan suatu peradaban atau kebudayaan menjadi kosmopolit dan multikulturalis'.

 

Sejarah dan dinamika akulturasi budaya dua bangsa

Tiongkok dan Indonesia merupakan dua entitas bangsa dan negara yang memiliki jejak historisitas yang panjang dan kompleks. Di tengah lokus yang luas itu, buku tersebut menawarkan satu lanskap yang hingga hari ini terus berkembang untuk diteliti dan dieksplorasi oleh para sarjana, yaitu pertautan muslim Tiongkok di Indonesia.

Bagaimana peran tokoh Tionghoa--selain narasi besar dari Arab dan India--dalam sejarah masuknya Islam di Nusantara, proses relasional apa yang ditawarkan, dan apa produksi kebudayaan dan tradisi yang bisa diketengahkan sebagai hasil pertautan dan pergulatan kedua bangsa? Buku itu bisa menjadi rujukan dalam meneguhkan pengetahuan yang belum banyak diketahui masyarakat sekaligus dapat berkontribusi merevisi distorsi dan stigma terhadap entitas Tiongkok di Indonesia.

Buku itu terbagi menjadi empat bagian. Bagian pertama terkait dengan sejarah. Aspek sejarah tentu sangat penting menjadi fondasi utama sebelum berjelajah ke aspek-aspek lain terkait dengan kebudayaan kedua negara. Buku tersebut dengan tekun menelusuri jejak sejarah pertautan muslim Tionghoa ke Nusantara, memperkenalkan kita pada tokoh-tokoh penting yang menjadi jembatan penghubung antara dua budaya itu. 

Dari pelaut dan pedagang yang tiba di pesisir Indonesia berabad-abad lalu hingga tokoh-tokoh kontemporer yang terus mempererat hubungan budaya dan agama antara kedua bangsa. Pada aspek sejarah, pertautan budaya Tionghoa dengan Walisongo dan KKA Bandung seperti yang ditulis oleh Imron Rosyadi Hamid diketengahkan dalam buku itu.

Kehadiran tokoh sebagai aktor sosial (sejarah) juga tidak lupa ditampilkan dalam bagian kedua buku tersebut. Tokoh menjadi penggerak dan engine kebudayaan yang harus ditempatkan secara proporsional. Buku itu mengulas tentang sosok Cheng Ho, Gus Dur, hingga Pangeran Jimbun yang familier di telinga kita. Tokoh-tokoh di sini punya peran masing-masing, tetapi posisi mereka sangat sentral dalam membangun dan mengembangkan relasi berkelanjutan kedua kebudayaan.

Selain itu, proses inkulturasi di bagian ketiga juga diberikan ruang tersendiri dalam buku itu. Meskipun terma inkulturasi lebih banyak dikenal dan dipakai dalam sejarah dan tradisi Kristen kaitannya dengan lokalitas, aspek pertautan kultural yang terjadi antara Tiongkok san Nusantara juga sah menjadi proses panjang inkulturasi. 

Iksan Sahri, misalnya, memotret dalam tulisannya tentang bagaimana batik-batik di Madura dipengaruhi dominasi warna merah khas Tiongkok, tapi juga tak merah seperti pewarnaan di Tiongkok karena dibuat dari bahan yang berbeda. Tulisan Nabila Ghassani memotret bagaimana budaya Tionghoa memengaruhi fesyen yang ada di Indonesia, begitu juga tulisan Ica Andriyati tentang kuliner yang dipengaruhi oleh cita rasa Tiongkok.

Fakta itu menunjukkan betapa dinamisnya interaksi budaya yang dialami langsung oleh masyarakat setempat. Proses inkulturasi itu bisa dilihat sebagai proses yang (bahkan) melampaui waktu dan lokasi demi menegaskan tentang persistensi negosiasi kedua kebudayaan dari masjid-masjid dengan arsitektur unik yang menggabungkan elemen Tiongkok dan Indonesia hingga tradisi-tradisi keagamaan yang memperlihatkan sentuhan kedua budaya. Semua itu mencerminkan bagaimana proses adaptasi dan integrasi berlangsung dengan harmoni.

Bagian terakhir dalam buku itu ialah mempresentasikan tentang produk kebudayaan yang sudah mengalami proses akulturasi dan inkulturasi. Bentuk-bentuk dan produk-produk kebudayaan material dari negosiasi panjang pertautan kedua bangsa sangat penting dihadirkan sebagai bukti-bukti empiris dan konkret.

Produk kebudayaan yang hanya merasa cukup dengan sistem nilai dan kepercayaan sangat mungkin riskan dihantam serta dihapus oleh sistem-sistem kebudayaan lain yang perkakasnya lengkap dengan artefak, bangunan, dan wujud material lainnya.

Buku itu ditutup dengan tulisan saya yang memaparkan jejak Tionghoa di Indonesia melalui museum dan analisis produk budaya material lain seperti masjid dengan corak arsitektur Tionghoa di Indonesia--ditulis dengan perspektif akademis sosiologi arsitektur oleh Bernando J Sujibto--memaripurnakan struktur buku tersebut.

Semuanya membentuk satu kesatuan cerita indah tentang harmoni relasi dua bangsa yang sayang sekali jika khazanah tersebut tidak diketahui oleh generasi hari ini. Membaca relasi dua bangsa besar itu berarti membaca bagaimana sejarah panjang bangsa ini terbentuk. Hal itu penting bukan hanya untuk pengetahuan masa lalu dan kehidupan masa sekarang, melainkan juga untuk masa depan yang lebih harmonis dan berwarna. 

Buku tersebut mendapat komentar dan apresiasi dari beberapa tokoh. Di antaranya Ayang Utriza Yakin (peneliti & pengajar tamu di Université Catholique de Louvain, Belgia, dan Sciences Po Bordeaux, Prancis), ia menuliskan di halaman testimoni.

'Buku ini menjelaskan hubungan erat antara tiga unsur penting bagi Indonesia: Tiongkok, Tionghoa, dan Islam. Kumpulan artikel ini ditulis oleh para sarjana Indonesia yang punya minat kuat tentang Tiongkok, masyarakat Tionghoa, dan kaitannya dengan Islam di Indonesia. Buku ini penting dibaca masyarakat Indonesia karena ia menyajikan keterangan awal soal peran Tiongkok dalam penyebaran Islam dan perjalanan kebangsaan Indonesia, serta jasa masyarakat Tionghoa muslim dalam Islam Indonesia, termasuk juga dalam bidang politik, budaya, sosial, dan ekonomi'.

Selain Ayang Utriza, intelektual lain juga ikut memberikan testimoni yang semakin mewarnai buku itu, yaitu Ismail Fajrie Alatas (Associate Professor Studi Timur Tengah, Islam, dan Sejarah di New York University, Amerika Serikat, dan penulis buku What is Religious Authority?), Noorhaidi Hasan (Guru Besar dan Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta). Selain itu, Sumanto Al Qurtuby (dosen antropologi budaya di King Fahd University of Petroleum and Minerals, Arab Saudi, dan editor buku Tionghoa dan Budaya Nusantara), Moh Isom Yusqi (Kepala Puslitbang Kemenag), Yudil Chatim (Atase Pendidikan dan Kebudayaan KBRI Beijing), Muhammad Najib Azca (dosen senior Departemen Sosiologi, Fisipol, UGM dan Wasekjen PBNU), dan Ardhitya Eduard Yeremia Lalisang (dosen Departemen Hubungan Internasional FISIP UI).

Akhirnya, semoga buku tersebut bermanfaat dan semakin memperkaya referensi utama terkait denganrelasi Indonesia dan Tiongkok, seperti yang dituliskan oleh Ismail Fajrie Alatas: 'Buku ini ialah referensi penting tentang relasi bangsa Tiongkok dan Nusantara yang telah berlangsung sejak lama sekali. Keistimewaannya terletak pada kemampuannya merekam secara intensif aspek-aspek sejarah, eksistensi, dan peran para aktor, proses inkulturasi, hingga penyajian hal ihwal produk kebudayaan yang terbentuk melalui relasi muslim Tiongkok dan Nusantara'.

 



Previous article:flyingslot login

Next article:ikan mas erek erek